SWARADHARMA | - HUNIAN masa Majapahit yang terdapat dekat 700 tahun kemudian, warnanya telah mempraktikkan nilai- nilai teknologi simpel dalam bidang arsitektur. Struktur bangunan rumah didirikan dengan menggunakan kayu selaku material utama. Dibentuk bersumber pada ilham serta budaya yang tumbuh dikala itu, membuat hunian jadi salah satu bukti diri Kerajaan Majapahit.
Fakta terdapatnya bangunan rumah masa Majapahit itu tertuang dalam bermacam sumber. Mulai dari Kitab Negarakertagama( Mpu Prapanca), Kitab Sutasoma( Mpu Tantular), ataupun catatan dalam panel relief beberapa candi. Semacam di Candi Foto Wetan( Blitar), Candi Kedaton( Trowulan), Candi Jabung( Probolinggo), Candi Minak Jinggo( Trowulan), sampai Candi Penataran( Blitar).
Dari sana, timbul beberapa sebutan penyebutan rumah pada masa kerajaan besutan Raden Wijaya tersebut. Ialah, umah( rumah rakyat), graha( rumah pembesar), wisma( rumah dengan bilik bambu), mahanten( rumah di pegunungan beratap ijuk), yasa( balai pertemuan dengan bilik berhias), sampai rangkang( rumah kecil buat tempat pertemuan).
Staf Balai Pelestarian Kebudayaan( BPK) Daerah XI Jatim Unit Pengelolaan Data Majapahit( PIM) Didik Hermawan menerangkan, pada masa majapahit, bangunan dipecah jadi 2 berbagai.
Ialah bangunan konstruksi dari lapisan batu serta kayu. Konstruksi berbahan batu ialah bangunan sakral seperti candi.” Sebaliknya yang dari kayu, identik dengan bangunan profan semacam rumah.( Struktur) atap ataupun dindingnya dibuat dari kayu, bambu, ataupun bahan sejenisnya. Buat tipe kayu nyatanya, ini yang masih dalam pengkajian lebih lanjut,” ucapnya. Hunian kuno tersebut berdiri langsung di atas tanah ataupun batur( tumpukan bata). Tiap rangka bangunan dari kayu tersebut disambungkan tanpa memakai paku dari logam.
Malah, warga dikala itu memanfaat bambu selaku pasak serta iratan selaku ikat buat merekatkan sudutan ataupun bagian tertentu yang lain. Didik menerangkan, rumah masa Majapahit dibedakan jadi 3 kelompok. Ialah, arsitektur jawa kuno. arsitektur Majapahit lama, serta arsitektur akhir Majapahit. Arsitektur jawa kuno berciri seperti rumah panggung. Mempunyai kolong antara lantai rumah serta tanah dan tanpa pemisah ruang.
” Pemisah ruang cuma gunakan kain ataupun bahan tidak permanen yang siang hari bisa dilepas. Buat penutup atapnya mengenakan alang- alang,” bebernya. Berikutnya, arsitektur Majapahit lama. Kelainannya, struktur bangunan rumah berdiri di atas batur serta penutup atap mengenakan genting. Bermacam sumber menyebut, bangunan ini bisa berperan selaku pendapa ataupun balai sekalian tempat rehat.” Buat arsitektur akhir Majapahit, mempunyai karakteristik yang sama dengan arsitektur Majapahit lama. Tetapi telah mempunyai pambatas ruang yang permanen,” sebut Didik.
Dijelaskannya, atap rumah kala itu terdiri dari bermacam bahan. Mulai dari ijuk, jerami, sirap( kayu papan tipis), sampai genting. Model atap rumah kuno itu juga bermacam- macam, berupa joglo, limasan, kampung, tajug, ataupun panggang- Pe.” Buat bangunannya, terdapat yang terbuka, semi tertutup, serta tertutup. Jumlah tiangnya, antara 1, 4, 5, 6, serta 8, baik bermotif ataupun polos. Buat lantainya, ialah tanah yang dikeraskan, papan, kayu, ataupun bahan organis yang lain,” terangnya.
Sehingga, hunian masa Majapahit tersebut tidak semacam bangunan modern dikala ini yang dibentuk dengan bermacam material serta model. Itu sebab guna utamanya selaku bangunan penaung yang menghindarkan penghuninya dari terik matahari masa kemarau serta guyuran hujan dikala masa penghujan.” Jadi bukan bangunan yang dirancang buat mengestimasi cuaca ekstrem yang membahayakan semacam negara- negara dengan 4 masa,” sebut Didik.
Walaupun begitu, lanjut Didik, permukiman Majapahit lahir dari suatu proses panjang ekstraksi nilai budaya warga dikala itu. Prosesnya, mulai dari gagasan, tantangan serta jawaban( chellenge and response) dari pola pikir. Yang setelah itu tumbuh jadi sikap serta penentuan perilaku hendak berartinya suatu hunian yang bertabiat turun temurun sampai membentuk suatu bukti diri.
” Arsitektur Majapahit mempunyai pola ruang permukiman yang tertib serta simetris. Tata letak serta orientasi bangunan dalam permukiman ialah suatu ekspresi kosmologi bersumber pada sistem keyakinan serta tradisi- tradisi berbasis budaya yang diyakini warga dikala itu,” tandasnya.( vad/ ron)