Nama Giriloyo diambil dari Nama Panembahan Giriloyo atau Kanjeng Sultan Cirebon V

0


MAKAM GIRILOYO
Potret lawas 1910

SWARADHARMA | Nama Giriloyo diambil dari nama Panembahan Giriloyo atau Kanjeng Sultan Cirebon V  (nama kecilnya Abdul Karim),yang merupakan keturunan ke-5 Sultan Gunung Jati, dan juga menantu Sultan Agung  yang dimakamkan di tempat ini. 

Makam Giriloyo berada di Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul, Yogyakarta.   Jam buka : sepanjang hari dan malam. Harga tiket masuk : gratis, sumbangan diharapkan. 

Kompleks makam terletak di atas bukit yang terdiri dari beberapa kelompok makam, sehingga untuk mencapai komplek makam pengunjung harus melewati undakan yang cukup tinggi. Sampai di atas bukit akan dijumpai 2 kelompok makam, yaitu yang berada di sebelah kiri dan sebelah kanan undakan kita naik. 

Di sebelah kiri undakan ada makam Tumenggung Wiroguno, Makam Raden Ayu Nerang Kusumo, makam Kyai Juru Wiro Probho, dan satu makam lagi tidak diketahui identitasnya. Tumenggung Wiroguno adalah Panglima Perang Mataram kepercayaan Sultan Agung yang menyerbu Pati karena dianggap mbalelo, dan memboyong Roro Mendut ke Mataram untuk dipersembahkannya kepada Sultan Agung. 

Namun Sultan menghadiahkan Mendut kepada Tumenggung Wiroguno karena jasanya dan mengetahui bahwa sang tumenggung menginginkannya. Sayangnya Mendut telah jatuh cinta pada Pronocitro yang minggat dari rumah ibunya, Nyai Singa Barong, saudagar dari Pekalongan. Pronocitro akhirnya tewas ditangan Tumenggung Wiroguno, dan Mendut memilih mati bersama kekasihnya.
  
Selain itu terdapat pula susunan batu pipih, yang di atasnya terdapat sebongkah batu yang dipercaya orang merupakan “Selo tilas palenggahan Dalem“, atau “batu petilasaan tempat duduk Dalem”, sebuah batu yang konon dilemparkan sendiri oleh Sultan Agung dari Mekah. 

Konon Sultan Agung tidak diperbolehkan dimakamkan di Mekah oleh ulama setempat. Maka untuk menentukan letak makamnya ia pun melemparkan batu dari Mekah, yang jatuh di Giriloyo. Sayang tempat ini telah menjadi makam pamanda Sultan, yaitu Pangeran Juminah, sehingga Sultan akhirnya menetapkan makamnya di Pajimatan, yang sekarang menjadi Makam Raja-Raja Imogiri.
  
Kemudian pengunjung naik undakan lagi dan masuk ke dalam pagar makam yang merupakan kompleks kubur dengan 58 makam. Di sebelah kanan tampak makam menyendiri yang disebut “Sekaran Sepen”, makam ghaib Sultan Agung yang jasadnya di Pajimatan Imogiri (Hawa panas saya rasakan saat saya berusaha berkomunikasi di sini). 

Di dekatnya ada makam Kyai Guru Desti, Ngabei Ler, Pangeran Haryo Broto, Tumenggung Haryo Broto, Adipati Banyu Wangi, dan empat makam tidak dikenal. Di blok sebelahnya terdapat makam Panembahan Juminah, yang adalah putera Panembahan Senopati. 

Lalu ada makam Pangeran Haryo Mangkubumi, putera Panembahan Seda Krapyak; makam Pangeran Haryo Sokawati, putera Sultan Agung; makam Pangeran Martasana; makam Kanjeng Ratu Mas Hadi, ibunda Sultan Agung; makam Raden Tumenggung Haryawangsa; makam putera Mangkubumi yang mati muda, dan satu makam yang tidak jelas pemiliknya. Di belakang dua tugu besar di area tertinggi Makam Giriloyo Imogiri Bantul ini adalah makam Kanjeng Ratu Pembayun, permaisuri Amangkurat I. 

Sedangkan empat makam di dekatnya tidak dikenal. Diantara dua tembok luar kempleks utama Makam Giriloyo ini terdapat cukup banyak kubur, namun semuanya tidak dikenali, kecuali satu, yaitu makam Tumengung Honggo Bahu. 
  
Kemudian kompleks makam sebelah kanan undakan naik tadi terdapat makam Kyai Ageng Giring dan makam Kyai Ageng Sentong di kiri jalan. Babad Tanah Jawi menceritakan bahwa saat membabat Alas Mentaok dan mendirikan Desa Mataram, Ki Gede Pemanahan mengunjungi Ki Ageng Giring, sahabatnya. 

Ki Ageng Giring baru saja mendapatkan sebutir kelapa muda bertuah yang jika diminum airnya sekaligus sampai habis maka akan menurunkan raja-raja Jawa. Karena belum merasa haus, ia berencana meminumnya setelah kembali dari sungai. 

Ki Gede Pemanahan yang tiba di rumah Ki Ageng Giring dalam keadaan haus, langsung pergi ke dapur dan melihat ada kelapa muda. Kelapa muda itu langsung dibukanya dan dalam sekali teguk dihabiskan airnya. Ki Ageng Giring yang kemudian datang hanya bisa pasrah kepada takdir bahwa Ki Gede Pamanahan-lah yang ternyata dipilih untuk menurunkan raja-raja Jawa. 

Namun tidak jelas apakah makam Kyai Ageng Giring yang makamnya di sini merupakan sahabat Ke Gede Pemanahan itu. Di sebelah barat Makam Kyai Ageng Gring terdapat sendang yang saat ini sudah disemen.
  
Di sebelah timur makam KyaiAgeng Giring tadi terdapat cungkup makam   yang berada di bawah sebuah pohon besar. Makam dibalut kain putih pada jirat dan nisannya. 

Makam inilah  yang merupakan makam Panembahan Giriloyo atau Kanjeng Sultan Cirebon V (nama kecilnya Abdul Karim), yang merupakan keturunan ke-5 Sultan Gunung Jati, dan juga menantu Sultan Agung. Makam yang terlihat sangat tua itu sesungguhnya kaya dengan ornamen, menyerupai relief pada candi. Di ujung makam terlihat sebuah tombak dan payung kerajaan yang warnanya telah pudar, diletakkan di sebuah rak yang disebut plocon berhias ukiran dua ekor naga yang ekornya saling membelit.

Sayangnya makam-makam ini tidak diberi  (nama). Sumber: Juru kunci Makam Dan Dosen UGM

Post a Comment

0 Comments

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*

To Top